Pagi itu mentari mulai terbit dari ufuk timur dan memancarkan cahayanya yang sejuk untuk menyinari bumi beserta isinya. Awan putih bercampur biru muda nan indah bergerak seolah-olah berjalan mengikuti gerak langkah kakiku. Ku lihat disekelilingku banyak kendaraan roda dua dan roda empat serta manusia yang lalu lalang dijalan raya yang penuh dengan aktifitas rutin yang memanfaatkan fasilitas jalan raya. Tetapi disamping itu semua, ada yang mencuri perhatiannku. Di seberang jalan, tepatnya diperempatan lampu merah aku melihat seorang anak perempuan sedang berdiri lengkap dengan pakaian lusuhnya untuk menjajahkan bendera kecil bertangkai yang berwarna merah-putih yang biasa ditempelkan di depan kaca mobil. Anak itu menjajahkan bendera dagangannya ketika lampu berwarna merah. Ia berjalan dan mengetuk setiap kaca mobil yang tertutup dan menawarkan bendera kecil itu kepada setiap kendaraan yang berhenti. Beberapa kendaraan ada yang mau membeli benderanya, tetapi ada juga pengendara yang diam acuh dan tidak peduli dengan apa yang ditawarkan oleh anak itu. Tetapi anak itu tetap berjalan dari mobil kemobil lainnya untuk mengharapkan agar setiap pengendara yang berhenti mau membeli benderanya.
Hati kecilku mulai bertanya “Sepagi ini anak itu berjualan di lampu merah, apakah ia tidak bersekolah???”. “Apakah orang tuanya tidak melarangnya???”. “Apakah ia tidak malu???”. Apapun itu pertanyaanku, aku hanya bisa bertanya sendiri dalam benakku tanpa tau apa jawabannya. Hingga beberapa saat kemudian hatiku pun bergerak untuk mendekati anak perempuan tersebut. Firasatku mengatakan ada yang tidak beres dengan anak ini. Entah apa yang menggerakkan langkah kakiku, tiba-tiba aku pergi mendekati anak itu untuk melihatnya lebih dekat lagi. Aku melalui jalan zebra cross sambil melihat kekiri dan kekanan mamantau kendaraan yang melaju dengan kencang.
Kini aku sudah sangat dekat dengan anak perempuan itu. Terlihat sang anak lusuh yang berpakaian kucel dengan tatapan yang tidak jelas arah dan menderita. Terlihat juga ia sedang memegang gelas plastik yang berisi tutup botol untuk dia pukul-pukul saat benderanya tidak laku. Ia pun mengamen di lampu merah itu. Entah berapa nominal yang ia dapat dari hasil penjualan bendera dan hasil mengamennya, aku pun tidak tahu persis. Banyak kendaraan yang berhenti di lampu merah dan anak itu sekali-kali meminta dari kaca setiap mobil yang berhenti, tetapi banyak diantara mobil-mobil yang berhenti di lampu merah itu tidak peduli dengan anak kecil itu. Mulai dari yang mengedarai orang tua, remaja, pria dan wanita, semua kadang melambaikan tangan tanpa menoleh dan melihat kearah sang anak. Aku membuka dompetku dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Lumayan menurutku meskipun cuma selembar uang lima ribu, lalu aku berikan kepada anak itu sambil berkata “Nak ini ibu punya uang sedikit untuk kamu” ucapku lalu aku mengajak anak itu untuk duduk sebentar. Anak tersebut tampak bingung lalu terdiam. Tangannya agak ragu saat meraih uang dariku. “Terima kasih Bu,” ucapnya dengan suara yang gemetar tapi aku masih bisa melihat rasa ketakutan dari anak itu. Anak itu kemudian duduk dengan beralaskan koran bekas dan memberikannya selembar untukku yang sudah ia sediakan. Tanpa rasa ragu aku pun ikut duduk disamping anak itu tanpa menghiraukan bahwa hari itu aku harus mengajar.
Tidak lama kemudian aku pun bertanya kepada anak itu, “Mengapa kamu tidak sekolah nak???” sambil tertunduk anak itu sekali-kali melirik ke arah anak yang memakai seragam putih-merah yang sedang berhenti dilampu merah. “Tidak bu” jawabnya padaku sambil sekali-kali ia juga memandang kearah jam tanganku yang berwarna merah putih. Ia tampak mulai tersenyum dibalik wajahnya yang polos dan imut yang menandakan bahwa ia sudah mulai nyaman denganku dan tidak takut lagi seperti diawal kami berbicara tadi.
Lalu ia bicara kembali kepadaku “Terima kasih Bu, ibu adalah orang yang saat baik” ucapnya padaku. Seketika aku merasa sangat melambung tinggi mendengarkan pujian dari bibir polos anak itu. “Nak, ibu sungguh peduli denganmu karena ibu juga mempunyai anak sepertimu, firasat ibu mangatakan kamu adalah anak yang baik”. Anak tersebut menghela nafasnya lalu berkata “Benarkan firasat ibu begitu tentang aku??? tanya anak itu kepadaku.
“Iya nak dari tadi ibu berada disebrang jalan sana dan ibu memperhatikanmu, dari tadi kamu begitu terpana setiap melihat anak yang berseragam putih-merah dan kamu juga melihat jam tangan ibu yang berwarna merah-putih ini” sambil aku menunjukkan jam tanganku yang berwarna merah-putih yang melingkar dipergelangan tangan kiriku. Sang anak pun berdiri lalu kembali melihat jam tanganku yang dari tadi ia perhatikan. Aku juga berdiri tepat di samping anak itu. Lalu anak itu berkata “Itu adalah warna bendera negara kita kan bu, bendara yang sudah susah payah diperjuangkan para pahlawan kita dulu dan sekarang kita sudah bebas mengibarkannya tanpa ada yang mengganggu kan bu?’’ ucap anak itu kepadaku. Kini aku sangat takjub mendengarkan jawaban sang anak. “Apa jawabanku benar bu?” tanya anak itu padaku.
Lalu anak itu diam sejenak dan berkata kembali ”Aku adalah salah satu anak yang tidak beruntung bu, yang tidak bisa memakai seragam putih merah seperti warna bendera kita”. Sambil menangis dia berkata kembali “Aku selalu bermimpi kapan aku bisa memakai seragam itu” ucap sang anak begitu dalam sehingga aku merasa seperti ditampar keras. “Jadi benarkan bu, warna bendera kita adalah merah-putih seperti seragam yang dipakai anak itukan bu ?’’ sambil tangannya menunjuk kearah anak yang memakai seragam putih merah.
Aku menatap sang anak yang polos dan lemah lembut itu. Dalam hati aku berpikir bagaimana seorang anak kecil dapat berpikiran nasionalisme seperti anak ini. Sementara anak-anak yang lain yang mendapatkan pendidikan yang layak belum tentu dapat berpikir seperti anak ini yang sama sekali tidak mengecap bangku sekolah. Anak itu pun terdiam untuk beberapa saat tanpa ia sadari air matanya pun mengalir perlahan-lahan di pipinya. Lalu ia berkata kembali “Ibu aku tinggal dipanti asuhan. Kata ibu panti, ibuku meninggalkan aku saat aku masih kecil di pintu panti. Aku tidak kenal bagaimana rupa ibu dan ayahku. Aku tidak sanggup melihat ibu panti mengurus kami, anak-anak yang terbuang sehingga aku berusaha untuk membantu ibu panti dengan cara berjualan bendera. Sekali-kali aku juga mengamen bu untuk mendapatkan sedikit uang dari orang-orang yang bermurah hati.” kata anak itu dengan penjelasan yang panjang. Lalu ia berkata kembali ”Ibu, kenapa ibu kandungku tidak berani memperjuangkan aku bu?, seperti para pahlawan yang berani memperjuangkan Bendera Merah-Putih dari para penjajah bu?” kata anak itu dengan penuh emosi kepadaku. Akupun berusaha menahan air mataku agar terlihat tegar dan tidak menangis di depan anak itu.
Aku sangat heran bagaimana seorang ibu dapat membuang anaknya tanpa berpikir panjang. Dimana anak itu sekarang sudah tumbuh besar. Ucapan anak itu juga sangat menyadarkanku dari lamunan tidur panjangku bahwa aku pun sebagai seorang ibu selama ini juga kurang memperhatikan tubuh kembang anak-anakku sendiri. Aku kadang terlalu sibuk dengan rutinitasku tanpa memperhatikan apa yang anakku butuhkan.
Lalu aku pun memeluk anak itu sambil berusaha menyakinkannya dan berkata padanya “Nak kamu adalah anak yang hebat dan pintar percayalah suatu saat nanti kamu pasti bisa meraih cita-citamu dan memakai seragam putih merah yang kamu impikan selama ini. Anak itu pun memelukku dengan sangat erat seolah-olah ia tidak mau lepas dari pelukanku dan ingin selalu didekapanku. Akhirnya pembicaraan kami berhenti sampai disitu. anak itu pun kembali melakukan aktifitasnya seperti biasa di lampu merah dan aku bergegas pergi kembali ke sekolah tempat aku mengajar walaupun aku tau bahwa aku sudah sangat terlambat datang ke sekolah. Aku sangat yakin bahwa aku akan ditegur oleh kepala sekolah. Sesampai di sekolah aku pun kena tegur oleh kepala sekolah tetapi karna aku menjelaskan kejadian yang aku alami akhirnya ibu kepala sekolah pun mau memaafkan. Setelah selesai mengajar aku pun berpikir-pikir dalam hati apa yang harus aku lakukan agar aku dapat membantu anak tersebut untuk mewujudkan impiannya. Dalam kebingungan aku berdoa pada Tuhan semoga Tuhan memberikan petunjuknya padaku agar aku dapat membantu anak itu.
Akhirnya, aku pun punya ide dengan ijin kepada pihak sekolah dan menceritakan tentang keadaan anak itu maka pihak sekolah pun menyetujui ide dan saranku dengan cara menempelkan beberapa foto anak itu yang sedang mengamen di lampu merah di mading dinding sekolah kami. Sambil menuliskan keterangan dibawahnya “MARI KITA BANTU GENERASI BANGSA” dalam hitungan beberapa jam beberapa wali murid bersedia menjadi wali anak itu dan bahu membahu untuk membantu dan mewujudkan mimpi anak tersebut.
Setelah melalui beberapa tahapan, wali murid yang bersedia menjadi donator pun langsung saya ajak terjun ke lapangan untuk melihat keadaan anak itu secara langsung. Wali murid yang menjadi donatur ada yang sedih dan menangis melihat keadaan anak itu dan mereka bersedia membantu anak itu agar dapat sekolah seperti anak-anak yang lainnya. Lalu kami menemui anak itu di panti asuhan tempat ia tinggal dan meminta ijin kepada ibu panti agar menyetujuinya untuk bersekolah. Mendengar kabar baik anak itu sangat senang dan kegirangan sambil melompat-lompat berlari ke arahku, memelukku dengan penuh hangat dan kasih sayang sambil berkata “Ibu yang baik hati, terima kasih karna sudah dapat mewujudkan mimpiku selama ini. Aku tidak akan sia-siakan usaha ibu yang telah menolong aku dan aku akan berjanji akan belajar sebaik mungkin untuk dapat membanggakan negara kita tercinta ini” ucap anak itu sambil tetap memelukku dengan sangat eratnya lalu berkata kembali “Akupun akan tetap menghormati dan menghargai Bendera Merah-Putih kita bu karna Sang Merah-Putihlah aku dapat bersekolah dan aku sangat bangga bisa menjadi bagian dari Negara INDONESIA tercinta ini bu”.
Mendengar ucapan anak itu, aku dan para donator lainnya ikut menangis terharu melihat kegigihan sang anak dan rasa hormat serta bangganya terhadap Bendera Merah-Putih. Dari kejadian itu aku mendapat hikmat bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini asalkan kita mau berusaha terus berdoa kepada sang Pencipta. Anak tersebut dapat menjadi cambuk bagi kita yang selama ini kurang menghargai keberadaan Bendera Sang Merah-Putih. Dari rasa hormat yang kita berikan kepada apapun, akan mendapatkan kebaikan dan berkat bagi kita. Karena pada dasarnya Tuhan selalu tau apa yang kita butuhkan dan Tuhan tidak akan pernah tidur walau dalam sekejap. Karena aku sangat yakin pertolongan Tuhan tidak akan pernah terlambat dan semua akan indah pada waktuNya
Sekian dan terima kasih, semoga bermanfaat bagi kita semua.
Penulis | : Maynardo Ricard |
Penyunting | : Siti Robiah |
Fotografer | : Maynardo Ricard |